Kamis, 06 Desember 2012

Hidup



Hari ini selesai membaca buku teh Risa Saraswati yang ke dua, Maddah. Seperti buku yang sebelumnya dengan judul Danur, buku ini menceritakan tentang teh Risa dan sahabat-sahabatnya yang tak kasat mata. Alur ceritanya begitu baik dan menarik. Tak hanya itu, cerita yang dirangkai oleh teh Risa juga tersirat nilai-nilai yang dapat kita pelajari di dalamnya. Banyak kisah-kisah nyata yang dapat menjadi acuan, baik kisah bahagia maupun kisah sedihnya. Bagi saya sendiri buku ini memberikan pesan yang sangat dalam. Diam-diam semua cerita yang saya baca membuat saya menyadari bahwa hidup itu sangat berharga, semua bagian dari hidup.

Pernah apa yang saya baca dari buku teh Risa menyelamatkan saya dari pemikiran bodoh. Kalian pasti tidak tahu bahwa saya pernah mencoba untuk bunuh diri. Ya, bunuh diri. Kedengarannya memang gila, tapi itulah kebodohan yang sangat besar. Sempat saya mengikat selimut pada teralis jendela kamar, tapi yang terjadi saya hanya berdiri mematung menatap selimut. Setelah menatap selimut, pikiran saya terbang menjauh menerawang sesuatu. "Hemm.. bagaimana rasanya jika aku menggantungkan kepalaku di situ?" dengan mata yang sembab saya hanya bisa bertanya dalam diam.

Tak lama setelah berdiri mematung, tiba-tiba saja saya teringat tentang kisah seorang wanita yang teh Risa temui, entah dalam buku Danur atau di blognya teh Risa. Kisah ini tentang seorang wanita yang tewas karena gantung diri dan aku ingat betul apa yang terjadi seterusnya setelah ia tak lagi di bumi. Kehidupan setelahnya tidak menjadi lebih baik dari keadaan saat ia berada di dunia, justru penderitaannya semakin bertambah. Kau tahu? Tali yang menyebabkannya kehilangan nyawa ternyata terus melekat pada lehernya. Sakit yang ia rasakan sebelumnya tetap ia rasakan di dunia barunya yang gelap, tetap merasakan semua pilu dan kepedihan yang ia rasakan di dunia.

Mengingat kisah itu otak saya langsung berpikir secara rasional dan penuh akal sehat seakan menyadarkan saya dari kekhilafan yang amat besar. Saya pun tak ingin merasakan hukuman yang akan terjadi setelah saya mati nanti. Seketika saya melangkah menuju kasur, menjauh dari selimut yang terikat. Saya memutuskan untuk mencari akibat dari bunuh diri dan apa hukuman bagi tindakan tersebut di dunia maya. Benar saja, apa yang hendak saya lakukan adalah kesalahan besar yang memang benar-benar haram dan menentang aturan Allah. Apa hukumannya bagi yang bunuh diri dan mendahului Allah? Neraka paling dalam lah balasannya.

Tanpa sadar saya merasa ngeri terhadap diri sendiri. Sakit sekali rasanya saat menyadari apa yang hendak saya lakukan. Saya kemudian berdiam diri mematung dengan mata menerawang ke langit-langit kamar, seakan menerawang jauh ke langit di atas bumi. Kemudian saya hanya terkulai lemas tanpa bisa berpikir apa-apa hingga akhirnya tertidur.

Begitulah cerita saya saat itu, sangat konyol. Sekarang saya lebih menyadari bahwa hidup itu sangat berharga dan tak boleh disia-siakan. Saya bahkan sedikit khawatir apabila saya harus berhenti hidup, apalagi karena hal yang masih bisa diselesaikan. Banyak 'mereka' yang ingin sekali merasakan kehidupan kembali namun tak bisa. Jadi, kenapa saya harus menyepelekan hidup saya? Saya tak boleh menyerahkan hidup dan mengakhirinya hanya karena masalah-masalah yang ada. Saya harus bisa melihat bahwa hidup bukanlah sebuah permainan yang dapat saya akhiri kapan pun saya mau. Saya harus menjaga hidup saya sampai saatnya Yang Kuasa memanggil, dan inilah yang sekarang saya yakinkan dalam hati dan diri.

Selain arti hidup, saya juga dapat belajar tentang lain dan banyak hal. Hem.. dan masih banyak lagi yang harus saya sadari dan pelajari lagi, baik melalui kisah-kisah orang dan makhluk lain maupun pengalaman diri sendiri. Yang jelas, yang paling penting adalah hidup itu sangat berharga.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ps:
Hidup itu sebenarnya indah. Hidup adalah anugerah terbesar yang pernah ada. Bayangkan, kita berada di sekeliling orang yang kita sayangi karena kita hidup di dunia ini. Kebahagiaan dan memori indah yang kita miliki ada karena kita hidup di dunia ini, begitu juga dengan kesedihan. Lihatlah wajah mereka yang menyayangi dan kita sayangi, semua ada di hadapan kita karena sebuah hidup yang kita miliki. Rasa lelah, rasa sedih, semangat, bahagia, dan apapun yang kita rasakan ada karena sebuah hidup yang kita jalani. Semuanya begitu nyata, begitu berharga, dan kita harus mensyukurinya.

Saat mengalami kesedihan, kegundahan, atau kesulitan yang amat dalam, jangan sesekali pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Mengakhiri hidup bukan cara terbaik, bahkan sama sekali tidak baik. Justru hal tersebut akan menjatuhkanmu ke dalam jurang yang lebih gelap, lebih menyakitkan dan menyiksa. Semoga hal ini akan terus menjadi prinsip semua umat termasuk saya.




Jumat, 18 Mei 2012

Menanti - Notra Tam - II


Menanti - Notra Tam - I




Kamis, 15 Juni 1978

Pagi ini terasa begitu cepat datang, ah, aku yang belum puas dalam tidur sudah dibangunkan saja oleh sinar mentari pagi. Malas sekali rasanya harus beranjak dari kasur dan guling kesayanganku, ingin rasanya aku kembali menarik selimut dan tidur lagi. Huamm..

Tak berapa lama mataku terpejam kembali, namun tiba-tiba saja aku menyadari ada sesuatu yang membuat jantungku berpacu lebih cepat. Eh, mimpi apa aku semalam? Seketika aku lupa bahwa aku masih mengantuk. Sepertinya ada sesuatu atau mungkin seseorang yang datang ke mimpiku malam tadi, ya, dia datang lagi menghantui mimpiku. Kenapa aku harus bertemu denganmu bahkan dalam mimpi sekalipun? Kenapa? Kini niatku untuk tidur pun tertunda karena pikiranku mulai melayang jauh. Kenapa lagi-lagi aku harus memimpikanmu? Padahal tak ada sekejap pun dirimu di dalam pikiranku sejak beberapa minggu lalu... 

Kupikir aku telah berhasil melupakannya, tapi ternyata aku sepertinya salah. Bagaimana ini aku jadi teringat mimpi semalam, kulihat ada bayangan wajahnya yang tersenyum manis padaku, menatapku dengan pandangan penuh ketulusan darinya. Ia berlari dengan tawa yang riang, mengajakku untuk berputar, berlari, dan bermain dengannya. Kami berdua sangat menikmati dan terlihat begitu senang, hanya saja aku heran melihat raut wajahnya yang kemudian berubah menjadi sedih. Ada apa dengannya? Ah, aku pusing mengingat mimpi ini, aku tak sanggup melihatnya dalam bayang-bayang yang sengaja kumunculkan di kepalaku.

Baiklah, lebih baik aku bergegas dan segera kuputuskan untuk beranjak dari kamar. Daripada aku memikirkanmu terus, lebih baik aku mencari kesibukan yang dapat menggatikanmu di kepalaku. 



Selasa, 18 Juli 1978

Seperti biasa, aku harus menghadiri kelas di kampusku tapi lagi-lagi aku mendapatkan diriku malas untuk pergi. Sebenarnya aku lebih suka pergi ke sini, tepi sungai Lothr, untuk mencari inspirasi dan melukis sesuatu yang baru. Markasku ada di bawah pohon Ek yang besar di sini, aku menggunakannya untuk duduk-duduk dan bermain. Sudah lama aku tak ke sini untuk melakukan hal-hal yang kusenangi, setelah aku berpisah dengannya aku tak lagi menyentuh tempat ini. Aku sangat merindukan saat saat itu, dan lagi-lagi aku terpikirkan dirinya.

Hai, Arnia. Aku sedang duduk-duduk di sini, tepi sungai Lothr yang menjadi tempat favorit kita dulu. Apa kau masih suka bermain di sini? Kau tahu tidak, aku merindukan suara angin yang kau tiupkan dengan Flute kesayanganmu. Aku merindukan dirimu yang selalu saja bisa membuatku tertawa dan bergembira. Aku ingin melihatmu, Arnia. Apa kau masih mengingat tentang kita? Apakah kau masih mengingatku?

Ini sudah lebih dari enam bulan yang lalu, semua cerita telah berakhir pada saat itu. Aku menyesal telah mengakhiri hubungan dan kini aku tak sanggup untuk melupakan dirinya.

Arnia, maafkan aku. Aku telah salah melangkah. Andai saja kau tahu apa yang ada dibenakku, ingin rasanya aku kembali lagi seperti dulu. Hingga kini tak ada yang bisa membuatku melupakan dirimu. Meski waktu yang telah kita miliki sangatlah singkat, tetap saja semua terasa begitu membekas dan mendalam bagiku. Tapi aku tahu, mungkin kau sekarang sudah membenci diriku dan aku takut untuk mengetahui kenyataan bahwa mungkin kau sudah tak lagi mencintaiku. Memang aku yang salah, aku telah membuatmu menangis dan sakit pilu saat ku sudahi semuanya. Maafkan Aku, Arnia.

Aku kini melangkah dari pohon Ek menuju tepian sungai dan memutuskan untuk duduk sambil menyelupkan kaki ke dalamnya. Tak jadi aku mencari inspirasi di sini, semua semangat dan inspirasiku ternyata tak bisa kudapatkan lagi semenjak tak ada dirinya. Semua yang tergambar di kepalaku hanyalah garis hitam yang bergulung menjadi benang tak beraturan. Apa yang bisa ku lukis jika semua pikiranku terkuras habis karena dirinya? Dan sekarang pikiranku pun melayang lagi, membayangkan dirinya berada di sisiku seperti dulu. 

Arnia, apa kabar kau sekarang? Bagaimana keadaanmu? Aku harap kau baik-baik saja di tempatmu. Kudengar kau telah menemukan laki-laki pujaan hatimu, ya? Aku turut senang jika itu benar, meskipun aku masih tersulut rasa sedih jika mendengar berita tentangmu. Hai, Arnia. Aku harap kau mau berhenti untuk membenciku, aku tak bisa bila keadaannya seperti ini terus. Aku masih mencintaimu seperti sedia kala. Perasaanku ini jujur dari dalam hatiku dan ku harap kau tahu, tapi itu pasti sudah tak mungkin lagi bagiku.



Jumat, 11 Agustus 1978

Bosan sekali rasanya harus berada di rumah sendiri, lebih baik aku bermain di dekat sungai Lothr saja. Sembari membawa tikar dan makanan aku mengendarai vespa-ku dengan penuh semangat. Aku harap di sana aku dapat menciptakan sesuatu meski hanya benang kusut saja.

Setibanya, aku langsung menggelar tikar dan merebahkan tubuhku di bawah rindangnya Pohon Ek. Udaranya sangat sejuk, matahari pun bersembunyi di balik awan untuk mengurangi sengatan sinarnya. "Oh, aku jadi mengantuk." Sambil memeluk kanvas aku memandangi pohon ini, begitu banyak bayangan dahulu yang muncul padanya. Kulukis pohon ini dengan penuh ketelitian. Ini adalah pohon kenanganku, aku tak boleh salah melukiskannya.

Tak berapa lama setelah aku selesai melukis akhirnya aku beristirahat dan tertidur dengan pulas. Tak terasa kini aku melayang ke dunia yang lain, aku memperhatikan sekitar, kebun ini indah sekali penuh dengan berbagai macam burung hias dan bunga-bunga yang bermekaran. Tanpa kusadari, aku menggenggam tangan seseorang yang sangat ku kenal. Rupanya Arnia ada di sampingku.

Kami melayang dan terbang dengan tinggi. Berputar dan menari diiringi dengan lagu-lagu yang sangat indah. Dia memainkan Flute-nya dan aku membawa Harpa yang ku petik dengan sukacita. Senang sekali rasanya bisa seperti ini, aku dan Arnia bersama lagi.

Kami saling mengejar satu sama lain, bernyanyi, kemudian tertawa bersama. Di saat asiknya, tiba-tiba saja hujan turun mengguyur kebun ini. Aku terjatuh dan terperosok ke dalam jurang yang begitu dalam sedangkan Arnia terbawa oleh angin badai yang sangat kencang. "Taaaaam!" Teriak Arnia dengan kencang.

"Arniaaaaaaaa!" Tak sadar aku terbangun dari tidurku. Apa yang baru saja terjadi?

Kuperhatikan sekelilingku, pohon Ek dan sungai Lothr, rupanya tadi aku bermimpi. Sungguh merisaukan sekali mimpi ini. Mengapa aku masih saja memimpikan Arnia, aku tak mengerti. Aku lelah harus merisaukannya dan memimpikannya setiap kali aku tidur. Ya, Tuhan, mengapa Kau selalu memberiku mimpi tentangnya? Semakin lama aku semakin tak kuasa untuk menahan semua kegelisahan yang timbul akan mimpi ini, Tuhan.

Sudahlah, aku kembali saja ke rumah. Hari sudah mau gelap dan pasti orang di rumah mencariku. Semoga keceriaan Ibu, Ayah, dan Adik-adik bisa membuatku melupakan Arnia untuk malam ini.

 

Sabtu, 21 Oktober 1978

Pagi ini terasa menyeramkan bagiku, lebih menyeramkan dari hari-hari sebelumnya. Aku mimpi buruk, sangat buruk sekali. Aku lelah dengan semua ini, mengapa terus-terusan aku harus bermimpi tentang Arnia? Aku sudah tak kuat lagi.

Sekarang tanggal 21 Oktober 1978, mengingat tanggal ini aku merasa semakin terpukul. Jika saja kupertahankan hubunganku dengannya, pastilah hari ini menjadi hari Anniversair yang penuh kebahagiaan. Tanpa sadar aku menitikkan air mata, kepalaku sudah tak sanggup lagi untuk berpikir jernih dan bersikap sewajarnya.

Ya, Tuhan, aku lelah dengan semua ini. Aku mengaku bersalah padanya, tapi tolonglah aku untuk dapat menghentikan semua ini. Aku tahu ini memang yang sepantasnya ku dapatkan, tapi tolonglah aku untuk melupakan dirinya. Ya, Tuhan berikan aku jalan jika memang dia yang aku cintai adalah yang seharusnya menjadi pasanganku. Apabila dia memang bukan untukku, tolong bantu aku untuk melupakan dirinya, ya, Tuhan.

Aku harus bertindak tegas terhadap diriku dan perasaanku sendiri. Tak baik jika aku terus membebankan pikiranku tentang permasalahan ini. Baiklah, mulai hari ini aku akan berjalan perlahan mencari cara agar aku dapat melupakannya.

Sore ini kuputuskan untuk pergi ke sungai Lothr dan aku akan membuang semua kenangan-kenangan tentang Arnia. Ku kumpulkan semua benda dan barang, termasuk foto, dan ku lempar semuanya ke sungai yang mengalir deras itu. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaakkh!” Teriakku dengan kencang dan kemudian menangis sendiri. Inilah puncak dari segala perasaan tak berperi yang selama ini kurasakan.

Maafkan aku Arnia, aku sudah tak sanggup lagi. Aku harap aku dapat melupakanmu dengan segera dan aku tak mau lagi mengingatmu atau mendengar kabar tentangmu. Aku terlalu mencintaimu tapi aku tahu kau sudah tak lagi memikirkan diriku. Memang ini salahku dan aku tahu kini sudah tak mungkin lagi aku memintamu. Baiklah Arnia, aku akan mencari penggatimu, aku berharap seseorang dapat menggantikanmu kelak.

Setelah membuang semua kenangan, aku bergegas kembali ke rumah dan beristirahat. Besok aku akan memulai semua lembaran baru, yang ku harap nanti dapat memberiku cara untuk melupakannya.



bersambung..

Senin, 12 Maret 2012

Inilah Awalnya



Ini pertama kalinya aku menyadari ada yang berbeda denganmu. Entah mengapa aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh batinku saat aku menoleh ke arahmu, saat tatapanmu menemukan tatapanku yang sengaja kusembunyikan secara diam-diam. Aku tak mengerti apa yang salah dengan matamu. Oh, bukan, bukan matamu, tapi sepertinya aku lah yang salah, benar-benar aku tak tahu mengapa aku menjadi seperti ini. Apa kau tahu? Tiba-tiba saja tubuhku merasa seperti terbentur dinding yang keras, tersentak saat aku melihat tatapanmu. Dengan buru-buru aku mengalihkan pandanganku, bagaimana mungkin aku memperlama tatapanku sedang aku tak kuasa menahan gejolak yang timbul.

Kini aku tak bisa berkonsentrasi pada apa yang sedang aku kerjakan, semua yang telah kususun rapi dalam otakku terpecah belah karenamu. Meski merasa resah, aku ingin mengulang lagi tatapan yang kau buat dihadapanku itu, diam-diam aku mencari celah di antara barang-barang yang menutupi, mencuri  seluruh pandang ke arahmu. Ah, ayo perlihatkan padaku, aku ingin menatapmu lagi.. gumamku dalam hati saat aku hanya melihatmu dalam keadaan menunduk. Berkali-kali aku masih mencoba untuk mencuri pandang, namun tetap saja aku tak bisa melihat matamu yang mengagumkan itu.

Tak berhasil, akhirnya aku menyerah dan mulai berjalan berkeliling menjauh darimu, menghampiri kawanku dan berbincang dengannya. Saat berbalik, aku sengaja melihatmu, yang sepertinya sedari tadi tidak menoleh sedikit pun. Tapi.. tunggu dulu.. apakah tadi itu? Kau mengalihkan pandanganmu yang tertangkap basah olehku, oh, kau juga menyembunyikan senyum kecil di balik wajahmu itu setelah aku berkata-kata dengan temanku. Apa maksudmu?

Kembali aku ke tempatku dan kini kau pun semakin menunduk, bersikap seolah-olah kau tak tahu apa-apa. Kau pura-pura, ya?  Tanyaku dalam hati. Tidakkah kau sadar, sikapmu itu kentara sekali sedang menyembunyikan sesuatu. Ayolah menengok sekali saja untuk saat ini..

Baiklah, kalau begitu sekarang giliranku yang berpura-pura, aku akan memasang sikap tidak tahu dan tidak peduli dan.. benar saja kau kali ini menatapku dan aku menjadi semakin tak karuan. Rasa itu kembali muncul, tersentak dan kini jantungku berdetak lebih kencang. Tanpa sadar aku semakin tertarik ke dalam rasa penasaranku. Entah apa namanya ini, tapi yang jelas aku benar-benar terseret ke dalam pusaran pesonamu. Ya, bahkan mungkin kini aku sudah terikat pada tali-tali yang tak sengaja kau kelim di hatiku. Dan apakah kau tahu? Malam ini aku tak bosannya bernyanyi dengan hatiku, memainkan pianoku dengan penuh penghayatan. Dan apakah kau tahu? Aku mulai menyadari bahwa aku menyukaimu.