Jumat, 18 Mei 2012

Menanti - Notra Tam - I




Kamis, 15 Juni 1978

Pagi ini terasa begitu cepat datang, ah, aku yang belum puas dalam tidur sudah dibangunkan saja oleh sinar mentari pagi. Malas sekali rasanya harus beranjak dari kasur dan guling kesayanganku, ingin rasanya aku kembali menarik selimut dan tidur lagi. Huamm..

Tak berapa lama mataku terpejam kembali, namun tiba-tiba saja aku menyadari ada sesuatu yang membuat jantungku berpacu lebih cepat. Eh, mimpi apa aku semalam? Seketika aku lupa bahwa aku masih mengantuk. Sepertinya ada sesuatu atau mungkin seseorang yang datang ke mimpiku malam tadi, ya, dia datang lagi menghantui mimpiku. Kenapa aku harus bertemu denganmu bahkan dalam mimpi sekalipun? Kenapa? Kini niatku untuk tidur pun tertunda karena pikiranku mulai melayang jauh. Kenapa lagi-lagi aku harus memimpikanmu? Padahal tak ada sekejap pun dirimu di dalam pikiranku sejak beberapa minggu lalu... 

Kupikir aku telah berhasil melupakannya, tapi ternyata aku sepertinya salah. Bagaimana ini aku jadi teringat mimpi semalam, kulihat ada bayangan wajahnya yang tersenyum manis padaku, menatapku dengan pandangan penuh ketulusan darinya. Ia berlari dengan tawa yang riang, mengajakku untuk berputar, berlari, dan bermain dengannya. Kami berdua sangat menikmati dan terlihat begitu senang, hanya saja aku heran melihat raut wajahnya yang kemudian berubah menjadi sedih. Ada apa dengannya? Ah, aku pusing mengingat mimpi ini, aku tak sanggup melihatnya dalam bayang-bayang yang sengaja kumunculkan di kepalaku.

Baiklah, lebih baik aku bergegas dan segera kuputuskan untuk beranjak dari kamar. Daripada aku memikirkanmu terus, lebih baik aku mencari kesibukan yang dapat menggatikanmu di kepalaku. 



Selasa, 18 Juli 1978

Seperti biasa, aku harus menghadiri kelas di kampusku tapi lagi-lagi aku mendapatkan diriku malas untuk pergi. Sebenarnya aku lebih suka pergi ke sini, tepi sungai Lothr, untuk mencari inspirasi dan melukis sesuatu yang baru. Markasku ada di bawah pohon Ek yang besar di sini, aku menggunakannya untuk duduk-duduk dan bermain. Sudah lama aku tak ke sini untuk melakukan hal-hal yang kusenangi, setelah aku berpisah dengannya aku tak lagi menyentuh tempat ini. Aku sangat merindukan saat saat itu, dan lagi-lagi aku terpikirkan dirinya.

Hai, Arnia. Aku sedang duduk-duduk di sini, tepi sungai Lothr yang menjadi tempat favorit kita dulu. Apa kau masih suka bermain di sini? Kau tahu tidak, aku merindukan suara angin yang kau tiupkan dengan Flute kesayanganmu. Aku merindukan dirimu yang selalu saja bisa membuatku tertawa dan bergembira. Aku ingin melihatmu, Arnia. Apa kau masih mengingat tentang kita? Apakah kau masih mengingatku?

Ini sudah lebih dari enam bulan yang lalu, semua cerita telah berakhir pada saat itu. Aku menyesal telah mengakhiri hubungan dan kini aku tak sanggup untuk melupakan dirinya.

Arnia, maafkan aku. Aku telah salah melangkah. Andai saja kau tahu apa yang ada dibenakku, ingin rasanya aku kembali lagi seperti dulu. Hingga kini tak ada yang bisa membuatku melupakan dirimu. Meski waktu yang telah kita miliki sangatlah singkat, tetap saja semua terasa begitu membekas dan mendalam bagiku. Tapi aku tahu, mungkin kau sekarang sudah membenci diriku dan aku takut untuk mengetahui kenyataan bahwa mungkin kau sudah tak lagi mencintaiku. Memang aku yang salah, aku telah membuatmu menangis dan sakit pilu saat ku sudahi semuanya. Maafkan Aku, Arnia.

Aku kini melangkah dari pohon Ek menuju tepian sungai dan memutuskan untuk duduk sambil menyelupkan kaki ke dalamnya. Tak jadi aku mencari inspirasi di sini, semua semangat dan inspirasiku ternyata tak bisa kudapatkan lagi semenjak tak ada dirinya. Semua yang tergambar di kepalaku hanyalah garis hitam yang bergulung menjadi benang tak beraturan. Apa yang bisa ku lukis jika semua pikiranku terkuras habis karena dirinya? Dan sekarang pikiranku pun melayang lagi, membayangkan dirinya berada di sisiku seperti dulu. 

Arnia, apa kabar kau sekarang? Bagaimana keadaanmu? Aku harap kau baik-baik saja di tempatmu. Kudengar kau telah menemukan laki-laki pujaan hatimu, ya? Aku turut senang jika itu benar, meskipun aku masih tersulut rasa sedih jika mendengar berita tentangmu. Hai, Arnia. Aku harap kau mau berhenti untuk membenciku, aku tak bisa bila keadaannya seperti ini terus. Aku masih mencintaimu seperti sedia kala. Perasaanku ini jujur dari dalam hatiku dan ku harap kau tahu, tapi itu pasti sudah tak mungkin lagi bagiku.



Jumat, 11 Agustus 1978

Bosan sekali rasanya harus berada di rumah sendiri, lebih baik aku bermain di dekat sungai Lothr saja. Sembari membawa tikar dan makanan aku mengendarai vespa-ku dengan penuh semangat. Aku harap di sana aku dapat menciptakan sesuatu meski hanya benang kusut saja.

Setibanya, aku langsung menggelar tikar dan merebahkan tubuhku di bawah rindangnya Pohon Ek. Udaranya sangat sejuk, matahari pun bersembunyi di balik awan untuk mengurangi sengatan sinarnya. "Oh, aku jadi mengantuk." Sambil memeluk kanvas aku memandangi pohon ini, begitu banyak bayangan dahulu yang muncul padanya. Kulukis pohon ini dengan penuh ketelitian. Ini adalah pohon kenanganku, aku tak boleh salah melukiskannya.

Tak berapa lama setelah aku selesai melukis akhirnya aku beristirahat dan tertidur dengan pulas. Tak terasa kini aku melayang ke dunia yang lain, aku memperhatikan sekitar, kebun ini indah sekali penuh dengan berbagai macam burung hias dan bunga-bunga yang bermekaran. Tanpa kusadari, aku menggenggam tangan seseorang yang sangat ku kenal. Rupanya Arnia ada di sampingku.

Kami melayang dan terbang dengan tinggi. Berputar dan menari diiringi dengan lagu-lagu yang sangat indah. Dia memainkan Flute-nya dan aku membawa Harpa yang ku petik dengan sukacita. Senang sekali rasanya bisa seperti ini, aku dan Arnia bersama lagi.

Kami saling mengejar satu sama lain, bernyanyi, kemudian tertawa bersama. Di saat asiknya, tiba-tiba saja hujan turun mengguyur kebun ini. Aku terjatuh dan terperosok ke dalam jurang yang begitu dalam sedangkan Arnia terbawa oleh angin badai yang sangat kencang. "Taaaaam!" Teriak Arnia dengan kencang.

"Arniaaaaaaaa!" Tak sadar aku terbangun dari tidurku. Apa yang baru saja terjadi?

Kuperhatikan sekelilingku, pohon Ek dan sungai Lothr, rupanya tadi aku bermimpi. Sungguh merisaukan sekali mimpi ini. Mengapa aku masih saja memimpikan Arnia, aku tak mengerti. Aku lelah harus merisaukannya dan memimpikannya setiap kali aku tidur. Ya, Tuhan, mengapa Kau selalu memberiku mimpi tentangnya? Semakin lama aku semakin tak kuasa untuk menahan semua kegelisahan yang timbul akan mimpi ini, Tuhan.

Sudahlah, aku kembali saja ke rumah. Hari sudah mau gelap dan pasti orang di rumah mencariku. Semoga keceriaan Ibu, Ayah, dan Adik-adik bisa membuatku melupakan Arnia untuk malam ini.

 

Sabtu, 21 Oktober 1978

Pagi ini terasa menyeramkan bagiku, lebih menyeramkan dari hari-hari sebelumnya. Aku mimpi buruk, sangat buruk sekali. Aku lelah dengan semua ini, mengapa terus-terusan aku harus bermimpi tentang Arnia? Aku sudah tak kuat lagi.

Sekarang tanggal 21 Oktober 1978, mengingat tanggal ini aku merasa semakin terpukul. Jika saja kupertahankan hubunganku dengannya, pastilah hari ini menjadi hari Anniversair yang penuh kebahagiaan. Tanpa sadar aku menitikkan air mata, kepalaku sudah tak sanggup lagi untuk berpikir jernih dan bersikap sewajarnya.

Ya, Tuhan, aku lelah dengan semua ini. Aku mengaku bersalah padanya, tapi tolonglah aku untuk dapat menghentikan semua ini. Aku tahu ini memang yang sepantasnya ku dapatkan, tapi tolonglah aku untuk melupakan dirinya. Ya, Tuhan berikan aku jalan jika memang dia yang aku cintai adalah yang seharusnya menjadi pasanganku. Apabila dia memang bukan untukku, tolong bantu aku untuk melupakan dirinya, ya, Tuhan.

Aku harus bertindak tegas terhadap diriku dan perasaanku sendiri. Tak baik jika aku terus membebankan pikiranku tentang permasalahan ini. Baiklah, mulai hari ini aku akan berjalan perlahan mencari cara agar aku dapat melupakannya.

Sore ini kuputuskan untuk pergi ke sungai Lothr dan aku akan membuang semua kenangan-kenangan tentang Arnia. Ku kumpulkan semua benda dan barang, termasuk foto, dan ku lempar semuanya ke sungai yang mengalir deras itu. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaakkh!” Teriakku dengan kencang dan kemudian menangis sendiri. Inilah puncak dari segala perasaan tak berperi yang selama ini kurasakan.

Maafkan aku Arnia, aku sudah tak sanggup lagi. Aku harap aku dapat melupakanmu dengan segera dan aku tak mau lagi mengingatmu atau mendengar kabar tentangmu. Aku terlalu mencintaimu tapi aku tahu kau sudah tak lagi memikirkan diriku. Memang ini salahku dan aku tahu kini sudah tak mungkin lagi aku memintamu. Baiklah Arnia, aku akan mencari penggatimu, aku berharap seseorang dapat menggantikanmu kelak.

Setelah membuang semua kenangan, aku bergegas kembali ke rumah dan beristirahat. Besok aku akan memulai semua lembaran baru, yang ku harap nanti dapat memberiku cara untuk melupakannya.



bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar