Rabu, 25 Januari 2012

PILU - Resti




Kini aku dalam perjalan menuju Jogja, dengan kereta yang menghabiskan banyak waktu aku duduk sendiri. Sepi sekali. Tak ada yang mengajakku berbicara. Saat aku hampir mati karena bosan tiba-tiba saja hp ku berbunyi. Piip.. piip.. piip.. Akhirnya ada juga yang mengirimiku pesan singkat.

Kutengok layar telepon genggamku itu sambil memicingkan mata, terlampir nama yang tanpa sengaja membuat aku tercenung. Dengan pandangan kosong pikiranku melayang, terbang menjauh seraya mencari penjelasan yang tak kunjung selesai. Nama itu mengingatkanku pada dirinya yang dulu.

       Haaai.. Apa kabar?

Begitulah isi pesan singkat yang terkesan apa adanya. Benarkah apa adanya? Bagiku itu bukanlah sesuatu yang sederhana, melainkan suatu hal yang hendak membuat jantungku pecah. Seandainya kalian tahu apa yang sebenarnya aku simpan selama ini, rahasia yang ternyata juga diketahui oleh teman-teman dekatku dan juga dia. Ya, dialah orangnya. Dialah inti dari segala butiran kebahagiaan sekaligus kesedihan yang menyakitkan. Dialah yang dulu menguraikan kisah lembut yang sangat menyentuh kalbu.

Lamunanku kini bertambah tinggi, suara bising disekitar tak lagi menyentuh gendang telingaku. Kini aku hanya tertuju pada satu hal, Rangga. Bayang-bayang masa lalu sekelebat menghantui khayalanku, muncul beriringan bagaikan album sinema yang tak kasat mata. Aku benar-benar merasa pahit dibuatnya. Pahit yang selalu kurasa sebagai rasa manis yang menggelora, dan menggairahkan.

Sedikit lama aku melayang dalam lamunan yang membingungkan. Aku tersadar kini dunia yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Seharusnya aku melaju semakin cepat, bukanlah melambat.

       Baik. Apa kabar?

Akhirnya aku berusaha memberanikan diri untuk menyapamu kembali, menyapa dengan berharap titik hitam yang dulu tumbuh kembali menjadi terang. Aku harus bisa mengesampingkan semua keluhan yang muncul dari dalam hatiku, biarkan semua yang dulu tumbuh segar kembali bagaikan bunga yang bermekaran. Tanpa disengaja, selaput yang tak pernah tertutup kini semakin terkuak menganga, semakin terbuka dengan lubang yang telah kosong.

       Baik sekali.. Sedang apa? Masih ingat aku, kan?

       Tidak ada kerjaan.
       Aku tidak bisa melupakanmu.

Tanpa sadar aku terkesiap menggosok mata dengan jemariku. Apa yang sedang aku pikirkan? Mengapa aku harus berkata seperti itu?

Diam-diam ternyata aku sudah terjatuh lagi dalam harapan palsu yang dulu sempat menggerogoti. Diam-diam pula rasa keluh yang kutahan semakin membeludak menyesakkan leher sehingga membuatku ingin berteriak. Ah.. apa salahku jika aku tidak bisa menahannya, atau menghempasnya.. Aku tak habis pikir apa yang telah ku perbuat.

       Aku kira sudah lupa. Bagus kalau begitu :D
       Aku ingin tahu kabarmu.. kangen.. hehe

Apa yang barusan dia katakan? Aku kaget setengah mati.

       Ternyata bisa kangen juga?
       Sudah lama ternyata kamu masih bisa muncul, ya?

Sekarang aku merasa lebih nyaman untuk berkata apa saja, tak peduli apa yang aku pikirkan sebelumnya. Hasratku sudah tak tertahankan lagi. Aku ingin segera menghabiskan seluruh pertanyaanku padanya. Akan ku beberkan seluruh tanda tanya tepat di atas dahinya. Dan akan kutunggu semua jawabannya.

***

Hemm.. kenapa tiba-tiba hp-ku tidak berbunyi lagi. Sudah 15 menit aku menunggu. Sebenarnya ini hanya sebentar, namun bagiku bagaikan menunggu kail yang berhasil menjerat mangsanya.

Tapi tak lama, sebelum aku sempat melamun lagi, berderinglah hp-ku. Ini bukan bunyi sms, tapi..

Ternyata dia meneleponku kali ini. Sungguh, perasaanku menjadi tak karuan. Sangat kacau. Sebenarnya aku merasa sangat khawatir dan takut. Aku takut jika harus mendengar suaranya yang kurindukan. Jujur, meski aku membenci apa yang dia lakukan, aku tidak pernah membenci dirinya. Dan meski aku merasa pahit terhadapnya, tapi aku berusaha agar semua itu menjadi manis dengannya.


Takut kehilangan kesempatan mendengar suaranya, akhirnya aku menjawab telepon itu. "Hallo?" Kataku sengan suara agak serak. Tanpa basa-basi aku melanjutkan, "Ada apa?"

"Mmm.." Dengan suara yang terdengar agak pelan dia mulai membuka suaranya. "Sebenarnya aku.. aku.."

Sepertinya dia tidak terlalu percaya diri. Suaranya sangat terputus-putus bagaikan radio kehilangan sinyal. Biasanya, dulu, aku selalu bertanya kembali jika ia tak mampu mengungkap apa yang ada di lidahnya. Namun kali ini aku akan membiarkan dan menunggunya menyelesaikan kalimat yang hendak ia katakan.

"Aku merindukanmu.."

Apa? Apa aku tidak salah dengar? Berani sekali dia berkata seperti itu padaku. Benar-benar, ini membuatku sungguh terlempar dan tertampar, bagaikan diterjang tulang belulang kering dari dalam. "Apa maksudmu?" Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Tidak, sebenarnya aku mengerti. Hanya saja aku berusaha untuk tidak tahu.

Sebenarnya, itulah kata-kata yang aku tunggu selama ini. Aku mengharapkan sesuatu akan kembali sebelum aku pergi, sesuatu yang selama ini membatu di dalam lubang yang dulu belum kosong. Aku juga mengharapkan semua yang pernah kami lewati terulang kembali, saat kami masih menjadi sepasang kekasih yang penuh dengan derai-derai bahagia.

Apa kalian tahu? Dahulu kami adalah sepasang insan yang melaju bersama dengan gairah cinta. Penuh dengan guratan-guratan hasrat yang sangat menggelora, membangkitkan semangat dan jiwa. Kami adalah sepasang kekasih yang tak pernah layu seperti bunga-bunga biasa, kami tak pernah sendu seperti burung yang terperangkap dalam sangkarnya.

Ya, itulah kami.. sampai pada akhirnya perjalanan hidup melencengkan cerita. Kami tak lagi berkomunikasi, tak lagi bertemu. Entah apa penyebabnya aku pun tak tahu. Mungkin sebenarnya hanya masalah kecil yang dibesar-besarkan, masalah yang dibuat agar menjadi berantakan. Entahlah, mungkin sebenarnya dia yang memulai awal dari akhir cerita kami dulu. Itu mengapa aku bisa mengatakan bahwa ia menghidangkan kepahitan di mukaku.

"Aku sungguh merindukanmu."

Cukup sudah, aku mengerti sekarang. Sepertinya aku tahu kemana arah permbicaran yang baru pertama kali kami mulai, setelah setahun lamanya semenjak kami hilang kontak. Ini sungguh memilukan. Apa kau ingin mempermainkanku? Apa kau tahu bahwa sebenarnya selama ini aku masih menunggumu? Aku masih berharap kau akan kembali padaku, tetapi entah mengapa aku juga tak rela kau berkata seperti itu. Aku merasa pilu.

Tanpa terasa mataku sudah membentuk bulatan air yang menggumpal, semakin besar dan besar sehingga tak lagi bisa dibendung. Aku penuh sesak. Apakah ini tanda bahwa kau akan kembali? Apakah ini tanda kau akan menjadi milikku lagi? Meski aku merasa ini tidak benar, aku tidak peduli. Aku tak menghiraukan apa itu benar atau salah, yang kupedulikan hanyalah harapan cinta yang tumbuh kembali. Meski ini menyakitkan, menusuk ke lubuk hati, aku tetap merajut rasa pilu menjadi madu.

Baiklah. Katakan bahwa kau benar-benar merindukanku. Katakan bahwa kau terus memikirkanku. Yakinkan aku bahwa kau.. masih mencintaiku.. Aku akan merasa bahagia..

Seraya membaca pikiranku ia berkata, "Selama ini aku terus memperhatikanmu dari jauh, aku selalu menunggumu, tapi kini aku tak sanggup lagi. Aku.. masih mencintaimu" Suaranya semakin melemah, sepertinya sudah mulai goyah akibat sesak yang ditahannya.

Benarkah? Apa ini bukan mimpi? Aku tak tahu apa alasanmu berkata seperti itu. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa kamu masih mengingatku dan memberiku harapan pada cintamu. Aku sungguh-sungguh tak mengerti akan dirimu.

Aku terdiam, duduk mematung di atas lintasan kereta yang masih aku tumpangi. Aku tak bisa berpikir jernih, aku tak bisa memikirkan alasan dan jawaban yang aku permasalahkan saat ini. Aku hanya ingin memberitahumu semua yang aku rasakan selama ini. Aku hanya ingin membiarkanmu memilikiku lagi.

Tetapi, lagi-lagi jalan cerita kami harus melenceng dari yang aku inginkan, kami impikan. "Aku.." Baru saja ingin menjawab dan memberitahunya tiba-tiba saja kereta yang sedang melaju bersamaku terguncang keras. Akupun terjatuh dengan sangat keras, begitu juga dengan telepon genggamku.

Setengah sadar aku berdiri dan meraih teleponku. Yang benar saja, kereta itu tiba-tiba saja terguling dengan sangat kencang dan brutal. Aku terpental ke sisi kanan, dan kini kepalaku berdarah akibat membentur tempat duduk yang ada. Sangat kacau suasana kereta ini. Entah apa yang terjadi, aku tak mengerti. Terus saja kereta terbalik tanpa henti. Sampai pada akhirnya, di titik penghabisan, lonjakan kereta berhenti dalam diam.

Aku sudah tak bisa sadarkan diri, tak sanggup lagi membuka mata. Meski begitu, aku tetap berusaha meraik telepon genggamku saat berbunyi kembali. Ini pasti telepon darinya. Aku harus memberitahunya.. Kutekan tombol hijau pada layarnya.

"Res, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, kan?" Terdengar sekali suara paniknya yang khas itu meski sudah samar-samar. "Ada apa di sana?"

Tanpa memperdulikan apa yang ia tanya, aku terus berusaha mengatakan kata-kata itu. Aku harus mengatakannya. Aku yakin, sudah tak bisa lagi aku menahan rasa sakit yang menerjangku sewaktu kereta ini terguling. Ku kumpulkan seluruh pikiranku untuk membantuku menggerakkan bibirku yang sudah berdarah. "Rangga.." Begitu paraunya suaraku. Entah ia mendengarku atau tidak.

"Ya? Kamu kenapa, Res?"

"A.. aku.." sekarang aku mulai terbata-bata. "Aku.. men.."

"Ya, res?" Kini suaranya semakin melemah ditelingaku. Namun aku masih berusaha sekuat tenaga untuk berbicara padanya.

"Aku men.. cintai.. mu.." Selesai sudah kata-kata terakhirku. Lidahku sudah sangat kelu dan kaku untuk berkata lebih, meski ini sangatlah penting bagiku.

"Aku tahu, aku membaca buku harianmu. Terima kasih kamu masih mencintaiku, Res. Maafkan aku telah menyerah dan membiarkanmu sakit karenaku. Maafkan aku, Res."

Aku tak lagi menjawab suaranya. Kini aku sudah tak sadarkan diri. Aku tak sanggup lagi.

"Res? Kenapa diam? Maafkan aku, aku menyesal. Res? Res?"

Seterusnya selama beberapa puluh menit ia terus berkata-kata dan memanggil namaku. Namun apa daya, aku tak bisa mendengarnya. Bagaimana mungkin aku menjawab disaat aku sudah tak ada lagi di sana?



Maafkan aku tak bisa menjawabmu. Aku cukup bahagia ternyata kamu masih menyimpan rasa cinta yang dulu aku dambakan. Akhirnya aku mendapatkan cintaku kembali sebelum aku pergi, meski aku tak tahu mengapa semendadak itu. Tapi aku tak peduli, karena aku yakin apa yang kamu katakan datang dari lubuk hatimu. Dari gelora yang dulu pernah mengikat kita. Suatu saat aku akan mencari tahu kenapa kamu masih mencintaiku. Terima kasih, Rangga..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar