Jumat, 22 Juni 2012

Maria - Bagian 1




     Senja ini Maria terduduk sendiri melamunkan hal-hal yang baru saja muncul di kepalanya. Entah mengapa jadi seperti itu keadaannya, ia merasa semakin aneh terhadap dirinya sendiri. Berulang kali ia mencoba untuk santai sejenak tetapi ceracau batinnya selalu saja membuatnya semakin tak karuan. Maria begitu heran mengapa baru-baru ini ia sering sekali ketakutan, rasa khawatir yang berlebih sering kali menekan mentalnya. Sebenarnya ia sendiri tidak begitu mengerti apa yang sedang ditakutkan, hanya saja hatinya terus menimbulkan pergolakan di dalam jiwa.
     Sejenak lamunan itu membuyar dalam sunyi, sunyi yang diam-diam merayap menyelimuti seluruh tubuh Maria. Ia memutuskan utuk segera berdiri dan bergegas membereskan semua tumpukan-tumpukan di dalam ruangan tempat ia tinggal. Sempit sekali sebenarnya ruangan itu, hanya saja Maria sering merapikan dan membereskannya sehingga terlihat sedikit mencukupi kebutuhannya akan tempat tinggal. Kamar yang begitu lembab dikarenakan kurangnya sinar matahari yang masuk sering membuat jamur-jamur cepat berkembang di sudut-sudut ruangan. Maria pun sering mengidap gangguan pernapasan karena udara di dalam ruangannya tak lagi segar, begitu menyedihkan. Meskipun hanya sebuah bilik kecil nan lusuh, bagi Maria ini adalah satu-satunya harta yang paling berharga yang ia miliki.
     Selesai merapikan ruangannya, kini Maria kembali terduduk. Dengan keringat yang membasahi tubuhnya ia menarik napas dengan rasa capai. Lelah sekali rupanya, ditambah ia belum makan sejak siang tadi, semakin lemas pula lah tubuhnya. Perutnya terasa begitu lapar dan sekarang ia sibuk berpikir, "Apa yang harus ku makan? Persediaan untuk perutku hanya tinggal sedikit," lalu dengan berat hati Maria berjalan menuju lemari makanan, ia segera menyiapkan secangkir teh hangat dan potongan terakhir dari baguette yang ia dapat pagi tadi. Sambil mengoleskan beurre ke atas rotinya ia bergumam sendiri, "biarlah aku makan roti ini, tak mungkin juga aku menyisakannya untuk sarapan besok pagi."
     Maria mulai menggigit baguette-nya dan dengan penghayatan penuh ia merasakan setiap rasa yang menempel pada lidahnya. Pelan sekali Maria mengunyah rotinya itu, ia takut jika terlalu cepat mengunyah maka makanannya pun akan lebih cepat habis dari tangannya. Karena ini adalah satu-satunya makanan yang tersisa, Maria berharap bahwa ia akan merasa kenyang sampai besok pagi, sampai ia mendapatkan makanan lagi untuk sarapannya.
     Usai melahap gigitan terakhir, Maria segera mencuci cangkir dan menyimpannya kembali ke dalam lemari yang kemudian ia kunci rapat-rapat pintunya. Tak berapa lama ia pun melangkahkan kaki menuju kasur yang letaknya hanya beberapa meter dari lemari makanan, bukan, bukan untuk tidur melainkan untuk berlatih seperti biasanya. Maria segera mengambil biola kesayangannya dan mulai menggesek bow pada senarnya. Dengan penghayatan penuh, ia melagukan nada-nada minor yang terasa begitu menusuk hati, persis seperti apa yang sedang ia rasakan.
     Malam ini batin Maria semakin tak karuan, rupanya ia teringat lagi pada lamunan yang membuatnya melayang saat senja tadi. Kini tubuhnya bergetar dan Maria pun mulai menitikkan air mata pada pipinya, sepertinya ia memainkan lagu yang salah sehingga membuatnya terlalu tenggelam dalam lamunan. Sesaat kemudian Maria mulai teringat kembali pada ibunya, ibu yang ia tinggalkan dalam waktu yang menurutnya terhitung lama. "Ibu.." gumamnya dengan suara yang begitu parau, "maafkan aku Ibu.. aku tak bermaksud.." Maria menjatuhkan biola dan menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya, "aku tak bermaksud untuk meninggalkanmu ibu.."
     Sekarang kilasan-kilasan memori muncul di dalam kepalanya dan silih berganti menunjukkan pemandangan yang membuat kesedihannya bercampur dengan emosi. Gambaran tentang pertengkaran-pertengkaran begitu membuatnya semakin pedih, dan ingatan saat terkahir kali ia menginjakkan kaki di rumah Ibunya kini berhasil menguasai batin dan pikirannya menjadi semakin hancur.
     Tanpa disadari wajah Maria semakin memanas dan matanya mulai membajiri pipi dengan air mata. Ia terus saja menangis selama beberapa waktu dan sekarang matanya sudah membengkak serta napasnya mulai tersengal-sengal. "Ibu.." Maria terus saja memanggil nama ibunya, ia terus saja meneteskan air mata karena ibunya, dan ia tetap saja menangis sampai rasa lelah menggerogoti tubuhnya hingga akhirnya ia pun jatuh tertidur dalam perasaan yang sangat menyengat hati.



***


     Hari mulai pagi, matahari yang bersembunyi di balik bumi mulai menampakkan sinarnya. Maria baru saja terbangun dan masih berdiam diri di balik selimut. Memang pagi ini lebih dingin dari biasanya namun Maria harus tetap beranjak dan bergegas untuk mencari makan di luar. Dengan tingkat kesadaran terbatas ia meraih jaket dan segera menyusuri jalanan di sekitar.
     Sambil berjalan Maria terus menghitung uang yang tersisa, uang yang diberikan oleh Bibi Antoinette sesaat sebelum ia pergi dari rumah. "Seratus.. Dua ratus.. Tiga ratus.." dengan sibuk menghitung Maria juga sibuk memikirkan makanan apa yang harus dibeli, "Uangku tinggal 500 franc, apa lagi yang harus ku makan?"
     Dengan lunglai Maria terus berjalan dan berkicau mengenai masalah yang mengganggunya, "Sudah sebulan aku meninggalkan rumah, seharusnya paman dan bibi memberi kabar padaku dan juga memberi uang. Hhh.. Kalau saja aku masih tinggal di rumah pasti aku tak akan bersusah payah mencari makanan seperti ini.."
     Dahulu setiap hari, setiap Maria lapar, Danielle pengasuhnya pasti akan menyiapkan makanan untuknya tanpa harus merasa lelah tanpa harus menunggu lama. Kini semua itu tak mungkin lagi bisa diandalkan, Maria telah jauh dari pengasuhnya, sangat jauh dari tempat tinggalnya dulu, Versailles. Semua ini sebenarnya bukan hal yang ia inginkan, jauh dari kemewahan yang ia miliki dan dekat dengan kesulitan hidup bukanlah sesuatu yang ia harapkan. Hidup jauh dari keluarga pun menjadi hal yang sangat membuatnya sedih sampai saat ini, namun bagaimana lagi, Maria sudah terlanjur mengangkat kaki dari kediaman keluarga dan tak mungkin baginya untuk kembali sebelum permasalahan di sana selesai.
     Kepergian Maria sendiri pun sebenarnya bukan tanpa alasan, ada beberapa masalah yang membuatnya tak tahan dengan sikap Ibu tirinya,  Fanette de Roye. Kemarahan yang tak masuk akal dan amarah Fanette selalu saja menjadi santapan bagi Maria, tak terkecuali semua ocehan-ocehan yang keluar dari mulutnya. Fanette adalah istri kedua dari Aubert de Roye, ayah Maria. Semenjak kematian sang ayah, Fanette selalu saja menjadikan Maria sebagai kambing hitam atas kecelakaan yang menimpa Aubert dan sengaja memanas-manasi keluarga besar agar Maria dikurung di penjara keluarga Roye.
     Fanette yang dipercaya keluarga pun berhasil menghasut beberapa saudara sehingga tuduhan pembunuhan semakin memberatkan Maria. Kini semua orang semakin membenci dan menjauhinya, tak hanya keluarga besar tetapi bangsawan lainnya juga ikut mencibir Maria. Sedangkan mereka yang percaya dan membela Maria justru menjadi bual-bualan Fanette, termasuk paman Duval, bibi Antoinette dan Ibu kandung Maria sendiri, Eleanor. Dahulu paman dan bibi lah yang menerima Fanette dengan lapang saat pertama kali ia datang ke kediaman Roye, sehingga akhirnya ia menjadi istri kedua dari Aubert. Awalnya Eleanor memang tidak bisa menerimanya tetapi tak lama setelah itu akhirnya ia mencoba untuk bersabar dan berbaik hati kepada Fanette. Eleanor selalu berkata kepada Maria, "Tak apa Maria, ayah melakukannya karena ingin menolong Fanette dari kesulitan yang sedang ia hadapi. Bersikaplah lebih baik, ibu takut ayahmu menjadi sedih jika melihatmu seperti ini."
     Terus semakin hari Eleanor berusaha semakin baik kepada Fanette tetapi sikap Fanette malah menunjukkan hal yang sebaliknya, ia semakin merasa berkuasa dan sering kali berbuat seenaknya kepada Eleanor dan juga Maria. Sampai suatu ketika terjadi sesuatu pada Aubert, kecelakaan yang sangat tiba-tiba dan tanpa penyebab yang jelas. Seluruh keluarga besar begitu terkejut dengan peristiwa yang terjadi dan berpikir bahwa Maria lah penyebab utama kecelakaan itu. Fanette yang menginginkan kepergian Eleanor dan Maria sengaja memanfaatkan keadaan tersebut sehingga kini seluruh keluarga semakin menyalahi Maria.
     Tak tahan dengan sikap Fanette akhirnya paman Duval mengusulkan agar Maria pergi dari rumah, ini untuk mengelabui Fanette selama paman Duval dan rekannya mencari penyebab utama kecelakaan yang terjadi pada Aubert. Maria yang menyetujui rencana pamannya pun segera mengemas perlengkapan dan berpamitan kepada bibi dan ibunya. Awalnya Eleanor tak mengijinkan anak kesayangannya itu pergi tetapi karena bujukan akhirnya ia melepaskan Maria dengan memberikannya begitu banyak bekal dan simpanan untuk dibawa.
     Kini Maria masih tinggal jauh dari Versailles, tepatnya di pinggiran kota Paris, daerah yang jauh dari baik dan sedikit kumuh dibandingkan dengan Versailles. Maria hanya bisa mencoba untuk tetap tinggal dan menunggu kabar dari pamannya. Tak lupa sesekali Maria mengirim surat kepada ibunya agar tak khawatir, dan ia pun sesekali bertemu Danielle untuk menyampaikan bagaimana keadaan di rumahnya.




***


     Maria terus menyusuri jalan entah sudah sampai mana, dengan perasaan yang tak menentu ia terus saja melangkahkan kaki sampai saatnya tiba-tiba ia berhenti. Maria melihat paman dan bibinya di salah satu toko, sedikit senang perasaannya tetapi semakin dekat ia menghampiri pintu toko semakin jelas pula orang yang sedang bersama paman dan bibi. "Itu kan Fanette.. Apa yang sedang paman dan bibi lakukan bersama dia?"
     Maria akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam toko secara diam-diam. Ia menutupi wajahnya agar tak terlihat oleh paman dan bibi, juga Fanette. Dengan hati-hati Maria duduk di balik punggung mereka dan dengan seksama mendengarkan percakapan yang tengah dibicarakan. Seketika jantung Maria serasa berhenti berdegup. Apa yang ia dengar ternyata sangat mengejutkan, benar-benar tidak masuk akal.
     Dengan perasaan marah dan sedih Maria segera berlari ke luar toko sambil menangis. "Mereka itu semua bajingan!" Teriaknya sambil berlari. Sesegera mungkin Maria pergi ke kantor pos dan mengirim surat kepada Danielle. Hanya Danielle lah satu-satunya harapan, satu-satunya orang yang dipercaya dapat membantunya. Maria memberikan kabar kepada Danielle agar secepat mungkin menemuinya di sekitaran Notre Dame.




bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar