Kamis, 26 Januari 2012

PILU - Rangga





Hari ini cukup cerah untuk memulai kegiatan yang seharusnya aku nikmati di hari libur, tetapi ada saja yang membuatku berhenti bersemangat. Malam tadi.. lagi-lagi aku bermimpi tentangnya. Ah, begitu meresahkan. Aku tak kan bisa berhenti untuk memikirkannya sepanjang hari. Begitu banyak kilasan-kilasan memoir yang menghangatkan, membangkitkan semangat kala itu tetapi pun meredupkan gairah saat ini. Sekelebat goresan-goresan pena yang menggambar kenangan itu semakin menegaskan gambarannya, menunjukkan apa yang seharusnya selalu ku jaga. Wanita itu. Perasaan itu.

Lagi-lagi aku menorehkan muka pada sebuah buku kecil yang penuh kisah pribadi itu, buku hariannya, yang kubawa saat tertinggal di sebuah cafe. Ya, siang itu tak sengaja aku melihatnya duduk termangu menatap layar telepon genggamnya, raut wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya menjelaskan apa yang sedang dia rasakan. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh, tak berani menghampirinya dan aku pun tak mau ia melihatku. Aku hanya bisa mengendap dan mengintip apa yang sedang ia lakukan, memantaunya. Entah apa kini yang sedang ia lewati, sesaat wajahnya memerah dengan tatapan nanar pada layar telepon dan pergi dengan tergesa-gesa. Aneh, tak biasanya keadaannya sebegitu kacaunya, aku sangat sakit melihatnya seperti itu.

Tak lama setelah ia pergi aku menghampiri meja yang sempat ia tinggali untuk sementara, terlihat jelas sebuah buku mungil yang sangat ku kenal tergeletak di atasnya, sepertinya tertinggal begitu saja. Aku berlanjut membuka risleting tas, menyimpannya dalam-dalam pada bagian yang sulit diraih. Hemm.. buku ini begitu mengingatkanku akan ekspresinya yang sangat gembira kala aku memberikan buku ini kepadanya. Begitu senang, katanya waktu dulu.

Sudah beberapa hari semenjak aku membawa diary-nya itu, belum pernah kubuka satu halaman pun dan membacanya. Aku, sebenarnya takut jika membacanya, takut aku akan tahu apa yang sebenarnya ia rasakan, takut bahwa aku harus menghadapi kenyataan yang ia tuliskan. Tapi kini rasa penasaran semakin menggelitik tubuhku, terdorong mataku yang kemudian mengajak tanganku untuk meraihnya kesekian kali. Begitu sulit mengontrol gejolak yang berkecamuk menyiksa batin sampai pada akhirnya aku tak peduli lagi pada ketakutan yang sebelumnya kubayangkan. Aku mulai mendekat meraba tulisan pada bagian sampul buku yang dulu sempat kuukir untuknya, menggerakkan jari-jariku menyusuri pinggirannya hingga terbuka halaman pertama.

Aku sudah tersentuh meski hanya melihat halaman pertama pada buku itu, guratan abu-abu yang dibuat dengan sangat mendetil membuatku tercenung. Ini adalah gambar yang ia perlihatkan padaku dahulu, sepasang kekasih yang dengan damainya bergandengan tangan menyusuri pantai yang berangin kelabu, tertulis dibawahnya "Inilah yang ada dibenakku saat mengingatmu." Oh, kata-katanya membuatku semakin merindunya, ya, aku merindukannya.

Halaman demi halaman kubaca dengan penuh gelisah, tak kurang dengan beberapa senyuman yang terbentuk karena kata-kata manisnya, begitu juga dengan keresahan dan kesedihan yang ikut mengiringiku saat aku menelaah semua cerita yang ditulisnya. Aku mengerti, dia begitu kecewa. Wanita yang mencintaiku meski sudah tak lagi aku bersamanya, wanita yang masih memendam amarah karena cintanya yang tak lagi seindah dulu ternyata masih sama seperti yang dulu.

Seandainya saja kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi, mungkinkah kamu masih menyalahkanku? Aku bersikap seperti itu karena aku tahu kamu telah dijodohkan oleh orang tua dengan calon suamimu itu. Sempat berkali-kali mereka mendatangiku dan mencercaku karena telah lancang menjadi kekasihmu, entah aku tak mengerti mengapa mereka berbicara seperti itu. Sudah berulang kali aku menjelaskan pada mereka bagaimana bahagianya aku memilikimu, betapa aku mencintaimu. Namun semakin aku meyakinkan mereka akan kepastian masa depanmu, semakin murka pula lah diri mereka. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa orang tuamu begitu marahnya padaku. Apa aku pernah melakukan dosa pada mereka? Pernah ayahku yang sakit keras menjadi ancaman, itu sebabnya mengapa aku tidak mendekatimu lagi. Aku, untuk pertama kalinya menyerah berjuang demi dirimu. Pelan-pelan mulai kukurangi kontak denganmu sampai pada akhirnya kita tidak pernah bertemu. Bukan, bukan tidak pernah bertemu, kamu yang tidak pernah melihatku. Diam-diam aku mengikutimu beberapa kali, memantaumu melalui situs publik. Ini kulakukan karena aku memang benar-benar masih mencintaimu, bahkan sampai sekarang.
Tapi.. kamu benar, kamu memang pantas membenciku. Kamu juga pantas menyalahkanku karena aku terlalu pengecut untuk mempertahankanmu. Aku tahu aku salah, aku tahu aku sangat tertekan, tetapi aku tidak bisa menceritakannya padamu apa yang terjadi, meski kau selalu saja menyerangku dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Jujur saja, mereka adalah orang tuamu yang harus kamu patuhi dan hormati. Aku tidak ingin kamu marah atau malah menentang orang tuamu nantinya, aku tidak mau kamu sedih karena mengetahui ini semua, aku tidak mau kamu bertengkar dengan orang tuamu hanya karna aku. Maafkan aku yang begitu payah dalam menjagamu. Asal kamu tahu, aku juga masih mencintaimu sampai sekarang. Tak pernah sedikitpun aku melihat yang lain selain dirimu, tak pernah sedikitpun aku memiliki hasrat untuk menguburkan semua tentangmu. Aku masih ingin kita kembali seperti dulu, menjalani kehidupan baru tanpa adanya kelabu..

Malam itu aku benar-benar kehilangan kesadaran, bukan kehilangan kesadaran secara harafiah, tetapi kehilangan kesadaran bahwa aku sedang berada di rumah. Pikiranku melayang begitu jauh dari tempat seharusnya, begitu berantakan bagaikan kapal yang sudah pecah. Aku merasa begitu minor, pedih membaca tulisan-tulisan yang ia buat sendiri. Benar-benar aku merasa sangat bersalah, tak akan pernah bisa aku memaafkan diriku sendiri karena telah membuatnya menjadi begitu kacau. Aku begitu sesak, dan begitu tertampar ketika sampai pada saatnya aku membaca bagian yang hampir akhir.



25 April 1998

Dimana kamu? Apa benar-benar sudah melupakanku? Apa kau tahu, aku membencimu setengah mati. Aku membencimu karena kamu sudah tak lagi peduli. Ya, aku benci apa yang kau perbuat padaku. Tapi apakah kau tahu lagi, meskipun begitu aku tak pernah membenci dirimu, dirimu yang selalu aku rindukan, aku nantikan untuk kembali.
Entah aku ini berbicara pada siapa, hanya pada sebuah buku yang dulu kau beri yang kini menjadi sahabatku. Mungkin aku sudah setengah gila, tapi aku gila karenamu. Sebenarnya aku masih mengingat semua yang kita lewati, tapi entah mengapa semua rangkaian cerita dan janji malah tercerai berai. Aku sedih menunggumu untuk merapikannya kembali. Menunggu tanpa adanya tanda-tanda pengharapan.
Baiklah, sudah cukup aku menangis pilu. Seharusnya aku bangkit dan terus melaju, menjalani hidup masing-masing tanpa terbebani goresan masa lalu. Namun, aku masih menanam perasaan yang dalam padamu. Sering aku berandai-andai kamu akan kembali merajut kisah kasih bersamaku seperti dulu dan melanjutkan perjalanan hidup bersamaku, ya, ini harapanku, harapan yang tak terhitung lagi umurnya. Aku berharap suatu saat nanti akan ada titik terang yang mewarnai wadah abu-abu dengan sinar putihnya sebelum aku pergi menjauh darimu untuk selamanya, menjadi seorang istri dari pria lain yang tidak kucintai.. sebentar lagi..  "



    Tanpa tersadar aku menjatuhkan buku itu -- sesak, berat, dan pedih. Ternyata sudah sangat dekat waktunya, ia akan menikah sebentar lagi. Aku tidak bisa membayangkannya. Selama ini tak pernah terpikirkan olehku bahwa sesosok wanita yang kucintai duduk di atas pelaminan bersama pria dewasa yang bukan aku. Aku terhenyak. Aku, sungguh tidak bisa menahan diri lagi, aku tak rela jika ia menjadi menikah dengan laki-laki lain.

    Biarlah, aku tak peduli lagi atas semua yang pernah menghujamku, aku tak merasa takut lagi terhadap semua cacian dan ancaman yang mengikatku, masa bodoh dengan semuanya. Aku hanya tak bisa membiarkannya pergi dariku untuk selamanya.

    Aku harus segera mengatakan yang sebenarnya. Mungkin terlalu terlambat, tapi aku tahu mungkin masih ada kesempatan untuk harapanmu yang tak terhitung umurnya, dan juga harapanku. Malam itu kuputuskan tekadku, aku harus menghubungimu sesegera mungkin.




    ***


    Pagi ini, setelah hampir semalaman aku tidak tidur, aku terbangun dengan tergesa-gesa. Bergegas mengejar waktu dan segera berangkat ke rumahnya. Sesampainya di sana, aku merasa sepi sekali. Mengapa tak ada orang sama sekali? Kemanakah kamu dan yang lainnya? Akhirnya kutanyakan keberadaannya pada orang sekitar, kata mereka kekasihku itu hendak menyusul orang tuanya untuk peresmian undangan pernikahan. Aku benar-benar terkejut. Sudah sejauh itukah prosesnya? Segera aku bergegas kembali untuk menyusulnya ke stasiun kota, aku berharap ia belum berangkat dan masih sempat bertemu denganku.

    Yang benar saja, di sana aku sama sekali tidak melihatnya, pastilah aku sudah sangat t-e-r-l-a-m-b-a-t untuk menemuinya. Bodoh sekali aku, mengapa tidak ku hubungi dari semalam saja. Sekarang dengan penuh gemetar ku telepon nomor ponselnya, dan ternyata nomornya sudah tidak aktif. Apa!? Sejak kapan kamu ganti nomor? Seingatku 3 hari yang lalu nomormu masih sama seperti yang dulu. Dengan perasaan penuh dera aku menghubungi semua kerabat dekatnya, lama sekali untuk mendapatkan nomor barunya, bahkan beberapa dari mereka tidak mau memberi tahuku karena telah membenciku.

    Setelah aku mendapatkan nomornya, aku malah bingung. Bagaimana caranya aku memulai pembicaraan dan percakapan dengannya? Ah, masa bodoh dengan cara memulainya, mungkin aku mengirim pesan singkat terlebih dahulu sebelum aku meneleponnya.


              Haaai.. Apa kabar?


    Kini sudah tak karuan lagi perasaan yang menghentakkan jantungku.


        Baik. Apa kabar?

    Sepertinya dia tahu siapa aku, ternyata dia masih menyimpan nomorku di ponselnya. Buru-buru aku balas sms singkat itu. Percakapan kami masih saja sangat singkat, sampai pada akhirnya sudah harus waktunya aku meneleponnya, aku tak mau menunggu lebih lama lagi, aku tak mau semakin lama lagi menyimpan ini.

    Dengan penuh kegugupan dan ketakutan kutekan tombol berwarna hijau di sebelah sudut kiri ponselku, aku sedikit khawatir ia tak akan menerimaku, juga teleponku. Sampai pada akhirnya ia menjawab teleponku, kegelisahanku memecah menyembur seluruh bagian tubuh, ""Mmm.." Dengan suara yang terdengar agak pelan aku mulai membuka suara, "sebenarnya aku.. aku.. aku merindukanmu."

    Dengan gigi gemeretak aku menunggu jawaban dari seberang sana, mengapa tak ada suara yang membalas perkataanku tadi. Aku semakin khawatir, aku takut. Biarlah, ini demi dirimu, aku juga tahu apa perasaanmu dan apa harapanmu. Aku tahu kamu masih mencintaiku, tak seharusnya aku ketakutan.

    Sekali lagi kuberanikan diri untuk berkata, "Aku merindukanmu," kali ini dengan suara tegas yang dengan susah payah kubuat untuknya. "Aku sungguh merindukanmu."

    "Aku.." akhirnya kudengar juga suara yang selama ini kurindukan, suara yang selalu menemaniku dalam mimpi-mimpiku yang begitu menghantui. Tapi tiba-tiba saja suaranya tak terdengar, entah, hanya suara berisik orang-orang yang berteriak dengan histeris dari seberang sana, suara kendaraan yang memekakkan telinga. Ada apa ini?

    "Res, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, kan?" dengan penuh kekhawatiran aku menyerangnya dengan pertanyaan untuk memastikan ia baik-baik saja. "Ada apa di sana?" 

    "Rangga.."

    "Ya? Kamu kenapa, Res?"

    "A.. aku.." suaranya terdengar sangat parau sekali, "aku.. men.."

    "Ya, res?" aku khawatir sekali, aku takut terjadi apa-apa padanya. Mengapa suaranya berubah menjadi parau dan semakin melemah dengan suara nafas yang tidak biasa.

    Dengan perubahan suara yang lebih drastis lagi ia mengatakan sesuatu padaku, "Aku men.. cintai.. mu.." itulah kata-kata yang tak aku lupa sampai sekarang.


    "Aku tahu, aku membaca buku harianmu. Terima kasih kamu masih mencintaiku, Res. Maafkan aku telah menyerah dan membiarkanmu sakit karenaku. Maafkan aku, Res." Aku menunggu ia menjawab perkataanku lagi, begitu lama aku tak mendengar suaranya. "Res? Kenapa diam? Maafkan aku, aku menyesal. Res? Res?"

    Kutunggu ia menjawab perkataanku, aku benar-benar tak tahu harus apa. Tiba-tiba saja aku merasa sangat tolol dan tidak ada artinya. Aku baru menyadari bahwa aku sudah sangat terlambat, mengapa aku tidak melakukan ini dari dulu? Aku benar-benar pengecut.

    Kutunggu selama berpuluh menit lamanya, namun mengapa ia tak menjawabku lagi? Kumatikan sambungan teleponnya dan kuhubungi lagi, kali ini tidak diangkat sama sekali. Berpuluh-puluh kali aku mencoba menghubunginya, namun hasilnya nihil, tak ada jawaban darinya lagi. Terus aku mencoba menguhubunginya hingga akhirnya aku tertidur.


    ***


    Esoknya aku terbangun dengan mata nanar dan bengkak. Baru kali ini aku merasakan ketidaknyamanan yang hebat, kepedihan dan kekosongan yang sangat luar biasa, entah kenapa. Sejak awal terbangun pikiranku langsung tertuju pada Resti, masih mengkhawatirkan hal kemarin, perasaanku benar-benar tidak enak.

    Yang benar saja, saat aku melihat koran terdapat Headline News dengan tulisan berwarna merah pekat.

    "Kereta Jakarta-Jogja Terbalik"

    Mulutku ternganga begitu hebatnya, segera kubaca halamannya dengan sangat panik. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi. Baris demi baris kubaca sampai pada akhirnya mataku terpaku pada kalimat, "diantaranya Wanita muda yang dikenal sebagai Pengamat Ekonomi dari salah satu universitas ternama di Jakarta.."

    Ini benar-benar tidak mungkin! Sekejap tubuhku sudah lunglai tak mampu berdiri dengan tungkai yang bergetar. Saat itu juga aku merasa hampir mati, bagaikan diterjang ombak dan karang secara bertubi-tubi yang membawakanku kenangan-kenangan dulu saat aku masih bersama dengannya. Hancur, bagaikan diterpa badai muson yang mengelilingiku dengan kebodohan-kebodohanku, kelemahanku, jiwa penegcutku. Saat itu juga aku marah pada diriku sendiri, ingin rasanya aku menabrakkan diri. Aku benar-benar menyesal. Jikapun aku tak bersikap seperti pengecut dan terus mempertahankannya, pastilah tak akan ada rencana peresmian undangan pernikahan baginya, pastilah tak akan ada pemberangkatan dirinya dengan kereta itu. Tak lama kemudian, aku sudah benar-benar tidak bisa menahan diri, aku terhuyung terjatuh membentur sudut pagar dan tak sadarkan diri.

    2 komentar: