Minggu, 07 Oktober 2012

Seorang Durhaka



Pernahkah kau berpikir bahwa seseorang hidup dalam keadaan di mana keadilan bukanlah sebuah keadilan? Pernahkah kau mengira jika kebenaran memanglah sebuah kebenaran di mana harmonisasi akan berjalan secara utuh? Apa kau pernah berpikir bahwa hukum benar-benar suatu aturan yang memenuhi keadilan dan kebenaran? Atau, apa kau yakin nilai-nilai yang tertanam adalah sebuah nilai moriil yang patas dijunjung tinggi?

Aku merasa haru dan gelisah, berpikir ulang dan terus memikirkan dalam resah. Bagaimana mungkin seseorang mempertahankan hukum dan nilai sedang ia berada dalam ketidakadilan? Apakah memang itu artinya hidup? Atau, apakah memang itu tujuan seseorang untuk hidup?

Suatu hari sang anak tumbuh dewasa dengan didikan keras tak beraturan, bernapas dalam tekanan, melangkah dalam ketakutan, dan berkata dalam amarah. Apakah gerangan yang terjadi dalam hidupnya? Mental dan pola pikir tergoreskan oleh luka yang mendalam namun tak terlihat. Begitu banyak kilasan peristiwa yang menyayat hati namun tetap tak kentara di mata yang lain. Mereka berpikir ini tak ada hubungannya dengan mereka. Mereka tak pernah menyadari bahwa ini adalah bentuk yang mereka buat sendiri. Bagaikan kanvas putih yang hendak dilukis, begitu pula lah seseorang yang kalian lahirkan dan besarkan. Apa yang kalian tanam itu juga yang akan kalian tuai. Jangan salahkan jika apa yang kalian lakukan akan membuat sakit di kemudian hari, karena seseorang itu pun akan terus melakukan luka yang sama tanpa ia sadari.

Kehidupan ini terasa begitu tidak adil, saat ia berjuang melakukan segalanya dengan amat baik, mereka pun tak pernah merasa puas. Terus saja mereka merasa ada yang kurang dan menyalahkan dirinya saat ia tidak melakukan hal yang salah. Bahkan saat ia mengatakan kebenaran tentang dirinya, mereka semakin memaki juga mencaci dirinya dengan kata-kata kasar. Pernah suatu hari ia sakit dan butuh tempat untuk bersedih, namun apa yang ia dapat? Salah satu dari mereka berteriak dan melontarkan kata-kata kasar yang baginya sangat menyakitkan, memaki dirinya dengan hal yang tak ada hubungannya dengan sakit yang dialami. Bagaimana mungkin seseorang terus menanamkan nilai-nilai moriil yang tinggi sedang ia tak jarang mendapat perlakuan di luar batas keadilan seperti itu? Saat ia diperlakukan berbeda dengan yang lain, saat ia diperlakukan dengan sensitivitas yang tinggi, apakah ia masih bisa berpikir secara jernih?

"Di mana keadilan?" Kini ia bertanya pada diri sendiri, tidak pada Tuhan ataupun orang lain. Isak tangis memenuhi waktu-waktunya, tanpa suara dan tanpa air mata jelas mereka tak akan tahu ia bersedih bahkan mereka akan berpikir bahwa ia adalah kutu busuk yang sangat tengik. Semua bayangan hal yang membuatnya terhina kini bermunculan dan semakin membuatnya merasa tercekik, serasa ingin mati, ya, ia ingin sekali mati. Ini memang bukan kejahatan tingkat tinggi, tetapi ini pembunuhan mental, perusakan nilai moriil. Mereka menanamkan benih-benih kebencian dan akan menuai kebencian pula darinya. Kelak ia akan melakukan hal yang sama, memukul, memaki, mencaci, berlaku tidak adil tetapi hanya pada mereka, mereka yang telah melukiskan ketidakbenaran pada pertumbuhan jiwanya.

Kali ini ia terus mengalirkan kesedihan tanpa air mata, hanya pandangan kosong yang melihat jauh ke masa-masa terburuk. Berharap tak pernah dilahirkan dan tak pernah bertemu mereka. "Untuk apa pelihara aku jika hanya untuk membuatku menjadi anak durhaka!?" Ia pun berteriak penuh amarah dan rasa perih namun tanpa suara. Haruskah ia terus menutupi kesakitannya selama ini? Haruskah ia terus berlaku adil kepada mereka yang telah membentuknya menjadi anak durhaka?

Maka terkutuklah dirinya atas mereka, orang tuanya. Melakukan hal yang sama kepada orang yang sama, melakukan hal yang ditanamkan kepada orang lain juga. Itulah bentuk dirinya sekarang, itulah lukisan yang terwujud dalam kerusakan. Tak jarang ia membantah pada mereka, hanya untuk membuktikan bahwa ia tak salah saat dipersalahkan. Tak jarang ia marah pada mereka, hanya untuk menunjukkan bahwa ia ingin diperlakukan dengan baik. Tak jarang pula ia berteriak kembali saat mereka memaki dan mencaci dirinya.

Kini kalian lihat, itulah yang kalian dapat. Ia tahu ia memang salah berlaku seperti apa yang kalian lakukan padanya. Namun pernahkah kalian tahu bahwa ia juga hanya seseorang yang mempunyai hati dan batas kemampuan? Memang durhaka, lah, ia kepada kalian, namun pernahkah kalian menyadari bahwa itu adalah buah yang telah kalian tanam dan jatuh tak jauh dari induknya? Benar-benar buruk dan juga busuk.

Ia merasa benar-benar sudah sangat busuk lagi tak pantas. Untuk apa mereka membesarkannya jika hanya untuk menjadikannya sebagai bahan cacian dan makian? Sesungguhnya ia sadar dirinya berhutang pada mereka yang menghidupinya, memberinya sokongan sandang dan pangan. Namun bagaimana lagi, baginya hanya malaikat yang dapat bertahan dalam keadaan yang ia miliki. Apa kau ingat kisah seorang anak dalam buku "A Child Called It"? Itulah yang ia anggap sebagai anak malaikat, tetap menghormati mereka meski ia terus disiksa dan dicaci berkali-kali.

Sekali lagi ia mengingat kepedihan yang membuatnya menjadi buruk. Mentalnya pun setengah terganggu. Tak jarang ia berbicara sendiri, seakan ada seseorang lain yang memperlakukannya dengan baik dan adil. Sebenarnya ia melakukan itu bukan tanpa sadar dan ia merasa masih sangat waras. Hanya saja ini ia lakukan untuk memotivasi dirinya untuk berlaku hal yang lebih baik kepada mereka yang tak disukainya. Sekarang sesekali ia hanya akan mengacuhkan mereka yang menyalahkan dirinya, menganggap mereka sebagai burung yang sedang berkicau di langit dan mengabaikan mereka yang berlaku tak adil padanya.

Apa kau pikir yang ia lakukan salah? Apa kau pikir bahwa ia benar-benar terkutuk? Jika, ya, ini lah pembelaannya: Di mana ada kebenaran? Di seluruh wilayah bumi ini ada kebenaran. Namun, di manakah keadilan berada? Di darat, di laut, atau di langit? Bahkan di bumi saja tidak ada.

Ia berpikir bahwa bumi memang sudah gila sedangkan ia butuh keadilan. Maka, ia memutuskan untuk berlaku adil, seimbang, dan sama rata kepada orang lain dan dirinya. Ia akan berlaku adil, berlaku hal yang sama, hal yang dilakukan oleh mereka kepaada dirinya. Mereka berlaku tidak baik, maka ia akan berlaku yang tidak baik pula pada mereka. Ketika mereka mencacinya, maka kelak ia akan mencaci mereka kembali. Begitulah cara berpikirnya saat ini.

Sekarang aku hanya bisa tertunduk memikirkan orang itu. Pola pikirnya salah, ya, salah tapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Apa kalian lihat? Itulah hukum timbal baliknya, apa yang kalian lakukan padanya sekarang akan ia lakukan kembali kepada kalian. Mentalnya telah rusak, pola pikirnya mulai kacau, dan jiwanya sudah terganggu. Baginya kebenaran di bumi bukanlah kebenaran murni, di mana harmonisasi akan tumbuh karena ia tak akan pernah merasakan harmonisasi pada hidupnya. Baginya keadilan juga bukanlah keadilan murni, sama seperti apa yang ia anggap sebagai keadilan saat ini.

Sadarkah kau sesungguhnya ia sangat menyayangi lagi mencintai mereka yang tidak berlaku adil padanya, sesungguhnya ia akan menaruh nyawanya untuk menyelamatkan mereka yang berlaku tidak baik padanya. Bahkan ia merasa lebih baik mati dari pada terus dianggap melakukan salah dan mengecewakan mereka. Hanya saja.. andai mereka mau melihat diri mereka sendiri, apa yang telah mereka perbuat padanya, apa yang telah mereka tanam padanya. Andai mereka mau berhenti menebar benih kebencian dan berhenti menanamkan keburukan pada dirinya, sungguhlah ia akan tumbuh menjadi seseorang yang baik dan lebih baik lagi. Namun, sampai saatnya mereka tak pernah berbuat adil padanya, maka ia akan berlaku sesuai dengan amarahnya sama seperti mereka yang telah menghidupkan amarah dalam dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar